PORTALSURABAYA.COM – Terhitung sejak bulan September 2021, petani garam di Gresik mengalami penurunan hasil panen, juga dibarengi dengan harga garam yang terbilang rendah yakni Sebasar Rp 500 per kilogram. Satu diantara faktor yang membuat harga garam turun yakni cuaca.
Salah satu petani garam di Kabupaten Gresik Rudi Utomo asal Desa Roomo, Kecamatan Manyar mengatakan, sejak cuaca yang tidak menentu sejak bulan September ini, dirinya hanya melakukan panen garam seadanya.
“Sebelumnya seminggu sekali panen. Kini satu bulan hanya dua kali panen, faktor cuaca salah satunya yang berpengaruh,” ungkapnya di lokasi tambak Garam Desa Roomo Kecamatan Manyar, Jumat (5/11/2021).
Rudi menerangkan dari hasil panen sebelumnya dalam 1 hektar lahan bisa menghasilkan 10 sampai 15 ton garam. Tapi karena kendala cuaca yang tidak menentu seperti saat ini hanya bisa menghasilkan 4 sampai 5 ton.
Rudi berharap dengan musim pendek ini (cuaca) membuat harga garam bisa melambung tinggi atau naik sehingga bisa menopang biaya produksi serta kebutuhan lain.
Lalu untuk pengiriman hasil produksi garamnya itu, Ia menyebut pengiriman hanya di beberapa pabrik-pabrik kecil serta tempat pengasinan ikan yang ada di Gresik dan Lamongan. Tapi, meski begitu dirasa harga garam saat ini tetap masih belum dinilai sejahtera.
“Kalau musim hujan seperti ini banyak buruh tani yang pulang ke kampung. Ada yang Madura, Bondowoso. Hampir tidak ada aktivitas sebab produksi garam di tambak sedikit,” ujarnya.
Tidak hanya soal jumlah yang dihasilkan, Rudi menyebut harga garam saat ini juga membuat petani ngelus dada. Untuk harga per kilo garam hanya sebesar Rp 500. Memang harga itu lebih besar jika dibandingkan dengan harga tahun 2020 lalu yang hanya Rp 200.
Menurut Rudi, harga garam yang dibilang lumayan terjadi pada 2018 lalu, yakni Rp 1.200 per kilo. Kemudian di tahun 2019 anjlok menjadi Rp 300 perak. Rendahnya harga garam saat ini dikarenakan suplai garam impor terlalu besar.
Sehingga, harga jual garam rakyat kalah di pasaran. Apalagi saat ini pabrik-pabrik yang membutuhkan bahan baku garam itu lebih memilih garam impor dikarenakan memiliki kandungan natrium klorida lebih baik dibandingkan garam rakyat (lokal).
“Tahun 2021 ini, di Gresik saja sudah menghasilkan 700 ton. Sementara pabrik-pabrik besar lebih memilih garam impror, alasannya kandungan natrium kloridat lebih besar dari garam rakyat,” ucap Rudi.
Ia berharap pemerintah bisa menurunkan jumlah impor garam tahunan. Sebab, apabila impor garam rendah, otomatis harga garam lokal akan membaik.
“Apalagi seperti ini musim panennya juga semakin pendek karena musim hujan yang datang lebih awal,” tutupnya.
Pantauan di Lapangan, petak-petak area produksi garam rakyat di Roomo Manyar mulai sepi. Memang masih ada satu dua petani memanen garam yang terlanjur di garap. Tapi sebagian besar, area itu sudah kosong.
Dari data yang dihimpun, kenaikan garam tertinggi pada tahun 2018 Rp 1200 per kg. Tahun berikutnya 2019 Rp 300 per kg. Tahun 2020 Rp 200 per kg. Dan tahun 2021 kembali stabil dengan harga Rp 500 per kg.
Memang, jika dilihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 ini Indonesia melakukan impor garam sebesar 2,6 juta ton. Sedangkan di 2021 ini pemerintah mentargetkan impor garam sebesar 3,1 juta ton.
Impor itu dilakukan dikarenakan kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021. Sementara stok garam lokal jauh dari kata mencukupi.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di GoogleNews PUB